Review film “Sijjin” (2023) menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki keunggulan dalam menggarap genre horor, meskipun adaptasi ini lebih baik dari versi aslinya, “Siccin” (2014) dari Turki. Reviewer mencatat beberapa catatan yang tetap mengganjal.
Dalam penggarapan cerita oleh Lele Laila, “Sijjin” terbukti lebih baik dibanding versi Turki. Meskipun begitu, masih ada catatan kritis terkait cerita asli yang dianggap aneh, kasar, dan membutuhkan pemikiran ekstra dalam memahami logika ceritanya.
Perkembangan Lele Laila dalam menggarap film horor diapresiasi, meskipun gaya sinetron masih terlihat. Upaya untuk melokalkan cerita dengan latar Pandeglang dan penggunaan bahasa daerah dianggap sebagai pembeda unik dari versi Turki.
Namun, ada beberapa elemen yang masih mengganjal. Pertama, latar cerita yang dirasa kurang memberikan kemudahan kepada penonton untuk memahami alur waktu. Kedua, terdapat kesan bahwa “Sijjin” lebih seperti penggarapan ulang daripada adaptasi, dengan babak-babak cerita yang mirip dengan versi aslinya.
Review juga membahas elemen teror dan kemistisan, membandingkan beberapa adegan dari versi Turki dan Indonesia. Beberapa perubahan, seperti penggunaan kerbau daripada babi dalam ritual, dianggap kurang efektif dalam memberikan dampak teror yang sama seperti versi aslinya.
Meskipun reviewer tidak memberikan komentar khusus terhadap performa para pemain, ia menekankan bahwa potensi dan folklor lokal masih belum tergali optimal. Meski demikian, “Sijjin” membuktikan keahlian Indonesia dalam menghasilkan film horor, namun industri film perlu lebih percaya diri untuk mengangkat potensi lokal yang lebih mendalam.